Keterwakilan perempuan dalam struktur pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) kini makin mendesak disoroti. Dalam persidangan yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 24 Juni 2025, pokok perkara yang diajukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia dan sejumlah organisasi lainnya secara spesifik menuntut agar standar minimal 30 persen keterwakilan perempuan diterapkan dalam pimpinan AKD.
Keputusan MK tersebut menunjukkan bahwa isu “keterwakilan perempuan” bukan lagi sekadar wacana, melainkan bagian integral dari tata kelola legislatif yang berkeadilan. Maka, artikel ini akan mengulas latar belakang, argumen utama, tantangan dalam implementasi, dan langkah ke depan terkait keterwakilan perempuan di pimpinan AKD.
Latar Belakang dan Kerangka Hukum Keterwakilan Perempuan

Sejarah Pengaturan Kuota Perempuan
Sejumlah regulasi di Indonesia telah menetapkan bahwa calon legislatif perempuan harus menduduki paling sedikit 30 persen dari daftar calon. Meski begitu, pengaturan mengenai pimpinan AKD yang secara spesifik mengatur keterwakilan perempuan sering kali tidak tegas atau tidak diimplementasikan secara konsisten.
Putusan MK dan Permohonan Periode 2024-2029
Dalam Putusan MK No. 82/PUU-XII/2014, MK menyatakan bahwa pemilihan pimpinan AKD harus “mengutamakan” keterwakilan perempuan. Namun, dalam revisi Undang‑Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), frasa tersebut dihapus, yang kemudian memicu gugatan baru oleh para pemohon.
Kenapa Fokus pada Pimpinan AKD?
AKD – seperti badan, komisi, dan badan legislasi – memiliki peran strategis dalam kebijakan publik. Jika pimpinan AKD tidak mencerminkan keberagaman gender, maka arah kebijakan bisa jadi tidak mewakili potensi dan perspektif perempuan secara memadai.
5 Alasan Mengapa Keterwakilan Perempuan Di Pimpinan AKD Tidak Bisa Diabaikan
1. Demokrasi yang Berkeadilan Gender
Keterwakilan perempuan berarti partisipasi perempuan tidak hanya sebagai jumlah anggota legislatif, tetapi juga dalam posisi strategis pimpinan. Tanpa itu, suara perempuan dalam pembentukan kebijakan bisa terbatas.
2. Kebijakan Publik yang Lebih Inklusif
Riset menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam posisi pengambil keputusan akan memperkaya perspektif dan menghasilkan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan seluruh masyarakat, termasuk perempuan.
3. Hambatan Struktural dan Budaya
Meski normatif ada kuota calon legislatif perempuan, hambatan seperti stereotip gender, kurangnya akses ke jaringan politik, dan beban kerja ganda tetap membatasi kualitas dan kuantitas keterwakilan perempuan.
4. Efek “Massa Kritis” pada Keputusan Legislasi
Menurut analisis, perempuan baru bisa semakin berpengaruh ketika jumlahnya mencapai “massa kritis”, yang secara umum sering dikaitkan dengan sekitar 30 persen. Kalau jumlahnya terlalu kecil, maka suara perempuan sering diabaikan atau tidak menjadi agenda utama.
5. Konsistensi Penegakan Prinsip Konstitusi
Karena konstitusi menjamin kesetaraan dan hak politik perempuan, maka struktur legislatif kita sebaiknya mencerminkan komitmen tersebut. Upaya afirmatif dalam pimpinan AKD adalah bagian dari penegakan konstitusi demi demokrasi yang sehat.
Tantangan Implementasi Keterwakilan Perempuan di Pimpinan AKD
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/11/21/c592f0e2-ccb5-46ca-a6da-fd08b7699b6d_jpg.jpg)
Hukum dan Regulasi yang Kurang Tegas
Meskipun pengaturan tentang kuota calon perempuan sudah ada, ketentuan yang mewajibkan pimpinan AKD diisi oleh perempuan minimal 30 persen belum disepakati secara eksplisit dalam UU MD3.
Proporsi Anggota Perempuan yang Masih Rendah
Salah satu kendala adalah bahwa proporsi perempuan di DPR masih di kisaran 20–22 persen sehingga mencapai ambang 30 persen untuk pimpinan AKD bisa sulit secara matematis.
Resistensi Partai Politik
Partai politik sebagai pintu rekrutmen kepemimpinan perempuan sering menghadapi tantangan internal: nomor urut yang kurang strategis, alokasi sumber daya yang terbatas, dan budaya partai yang belum sepenuhnya mengedepankan kesetaraan gender.
Persepsi dan Stereotip Gender
Kesadaran masyarakat dan partai bahwa perempuan layak menduduki posisi pimpinan masih perlu ditumbuhkan. Hambatan budaya ini sering muncul sebagai “glass ceiling” bagi perempuan politik.
Bagaimana Momentum Periode DPR 2024-2029 Membuka Peluang
Sidang MK Perkara 169/PUU-XXII/2024
Perkara ini menguji beberapa pasal dalam UU MD3 terkait keanggotaan dan pimpinan AKD, dengan usulan agar interpretasi norma menjamin keterwakilan perempuan minimal 30 persen.
Tekanan Publik dan Pengawasan Gender Audit
Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya hak perempuan dalam politik, berbagai lembaga seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendorong transparansi dan audit gender dalam parlemen.
Peluang Reformasi Internal Partai
Partai politik memiliki peluang untuk memperbaiki mekanisme internal: meningkatkan kader perempuan, menetapkan nomor urut strategis untuk caleg perempuan, dan memastikan distribusi pimpinan AKD dibuka bagi perempuan.
Rekomendasi Kebijakan untuk Memperkuat Keterwakilan Perempuan

Afirmasi Hukum yang Lebih Tegas
Diperlukan regulasi yang menetapkan secara eksplisit bahwa pimpinan AKD harus mencakup perempuan minimal 30 persen agar tidak bergantung interpretasi semata.
Peningkatan Kapasitas Perempuan Politik
Program pelatihan, mentoring, dan pembangunan jaringan politik bagi perempuan harus digenjot agar ketika posisi terbuka, perempuan siap mendudukinya.
Transparansi dan Laporan Publik
Parlemen dan partai politik perlu menyusun laporan keterwakilan perempuan secara berkala, termasuk posisi pimpinan AKD dan alasan bila target belum tercapai.
Perubahan Budaya Politik
Sosialisasi dan pendidikan gender yang berkelanjutan penting agar masyarakat dan partai menerima bahwa perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari kepemimpinan politik.
Konsistensi Penegakan Kuota 30 %
Ambang 30 persen bukan hanya angka simbolis — tetapi titik kritis untuk menjamin perempuan memiliki pengaruh yang nyata dalam proses legislatif. Maka, target ini harus diikuti langkah nyata.
Kesimpulan
Keterwakilan perempuan dalam pimpinan AKD menjadi salah satu indikator penting kualitas demokrasi dan tata kelola legislatif yang inklusif. Dari perspektif hukum, politik, hingga budaya, memastikan perempuan duduk dalam posisi strategis bukan sekadar wacana tetapi keharusan. Dengan momentum persidangan MK dan dorongan publik yang makin kuat, maka partai politik dan parlemen memiliki tanggung jawab besar untuk menerjemahkan komitmen ini menjadi realitas. Jika tidak, maka suara perempuan akan terus terpinggirkan — dan demokrasi kita akan kehilangan dimensi keberagaman yang sesungguhnya.
