Lomba layangan di Jakarta Timur kembali jadi sorotan publik. Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan, hobi sederhana seperti bermain layangan ternyata masih punya tempat di hati banyak orang. Di kawasan Banjir Kanal Timur (BKT), puluhan hingga ratusan peserta berkumpul, saling adu strategi, dan menikmati suasana kompetisi yang penuh semangat namun tetap bersahabat.
Namun yang paling menarik dari gelaran ini adalah kisah pria paruh baya asal Bandung yang datang jauh-jauh hanya untuk mengikuti lomba. Ia membawa lebih dari 150 layangan hasil karyanya sendiri, siap diadu di langit Jakarta Timur.
Hobi Lama yang Tak Pernah Padam
Bagi sebagian orang, layangan mungkin sekadar permainan masa kecil. Namun bagi sebagian lainnya, ini adalah bentuk seni dan simbol kebebasan. Demikian juga bagi Asep Supriatna (54), pria asal Bandung yang dikenal di komunitasnya sebagai “Sultan Layangan”.
Dalam wawancara di lokasi BKT, Asep mengaku sudah menekuni hobi ini sejak usia 10 tahun. Awalnya ia hanya bermain layangan bersama teman-temannya di sawah belakang rumah. Tapi seiring waktu, minatnya berubah menjadi kecintaan mendalam terhadap seni membuat dan mengadu layangan.
“Bagi saya, setiap layangan punya jiwa. Dari bentuk, warna, sampai cara terbangnya. Semua itu hasil kerja hati dan tangan,” ujar Asep sambil memperlihatkan koleksi layangan jagoannya.
Koleksi 150 Layangan dari Beragam Motif dan Bahan

Dalam lomba layangan di Jakarta Timur kali ini, Asep membawa 150 layangan yang dikemas rapi dalam kotak besar. Koleksi itu terdiri dari berbagai jenis — mulai dari layangan aduan, layangan hias, hingga layangan berlampu LED untuk terbang malam hari.
Beberapa layangan bahkan memiliki desain khusus bertema budaya Sunda dan batik tradisional. Ia mengaku menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk membuat setiap layangan secara manual, tanpa mesin.
“Satu layangan bisa saya buat sampai dua hari. Ada yang bahannya bambu petung, ada juga yang saya kombinasikan dengan karbon biar ringan tapi kuat,” jelasnya.
1. BKT: Pusat Lomba Layangan di Jakarta Timur
Banjir Kanal Timur atau BKT memang sudah lama dikenal sebagai lokasi utama lomba layangan di Jakarta Timur. Area terbuka yang luas dengan angin yang stabil membuatnya jadi tempat ideal bagi para penggemar layangan dari berbagai daerah.
Setiap akhir pekan, ratusan orang berkumpul di sini — mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Suasana penuh tawa, teriakan semangat, dan warna-warni layangan yang menghiasi langit menjadi pemandangan yang menenangkan di tengah padatnya kota.
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur bahkan beberapa kali mendukung kegiatan ini sebagai bentuk pelestarian budaya dan ajang rekreasi warga.
Antusiasme Komunitas Layangan
Menurut panitia lomba, antusiasme peserta meningkat tajam setiap tahunnya. Komunitas layangan yang tersebar di kawasan Bekasi, Depok, hingga Karawang juga ikut berpartisipasi. Mereka membawa berbagai model layangan hasil kreasi sendiri.
Ketua panitia lomba, Hendra Prabowo, mengatakan bahwa kegiatan ini tidak hanya sekadar kompetisi, tetapi juga wadah untuk mempererat silaturahmi.
“Kita ingin melestarikan tradisi lama yang makin jarang. Banyak anak sekarang sibuk dengan gadget, padahal bermain layangan itu melatih kesabaran dan kerja sama,” kata Hendra.
2. Nilai Budaya di Balik Lomba Layangan di Jakarta Timur
Selain seru, lomba layangan di Jakarta Timur juga menyimpan nilai budaya yang mendalam. Dalam budaya Indonesia, layangan sering dianggap sebagai simbol kebebasan dan kreativitas.
Di beberapa daerah seperti Bali dan Yogyakarta, festival layangan bahkan dijadikan agenda tahunan yang mendatangkan wisatawan mancanegara. Tradisi ini mencerminkan semangat gotong royong, persaingan sehat, serta penghormatan terhadap alam dan angin sebagai kekuatan utama dalam permainan.
3. Teknologi dan Inovasi dalam Dunia Layangan
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/1644406/original/068625400_1499680669-Layang_layang.jpg)
Menariknya, perkembangan teknologi juga memengaruhi dunia layangan. Kini banyak pengrajin menggunakan bahan serat karbon dan plastik film ultra ringan yang sebelumnya hanya digunakan di industri penerbangan miniatur.
Asep termasuk salah satu pengrajin yang sudah mulai mengadopsi teknologi ini. Ia memanfaatkan desain digital untuk merancang pola layangan sebelum memotong bahan secara manual. Bahkan, beberapa koleksinya bisa dikendalikan dengan sistem remote.
“Saya belajar dari YouTube dan forum internasional. Sekarang bikin layangan juga bisa pakai desain CAD, lebih presisi,” jelasnya sambil tersenyum.
4. Ekonomi Kreatif dari Hobi Layangan
Dari hobi, kini banyak komunitas berhasil menjadikannya sebagai sumber penghasilan. Asep mengaku pernah menjual layangan buatannya hingga Rp1 juta per buah, tergantung tingkat kesulitan dan desainnya.
Permintaan meningkat terutama menjelang musim kemarau ketika cuaca cerah dan angin stabil. Ia juga menerima pesanan khusus dari kolektor dan pelanggan dari luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura.
Menurut data Dinas Koperasi dan UKM Jakarta Timur, kegiatan seperti lomba layangan bisa berdampak positif terhadap ekonomi kreatif lokal, terutama bagi penjual bahan baku, tukang bambu, hingga penjual benang dan ekor layangan.
5. Lomba Layangan dan Edukasi Anak

Selain menjadi hiburan, lomba layangan di Jakarta Timur juga dimanfaatkan untuk kegiatan edukatif bagi anak-anak. Banyak orang tua mengajak anaknya agar mengenal permainan tradisional dan mengurangi ketergantungan pada gawai.
Baca juga : Fenomena Layangan di BKT Jakarta Timur 2025: Hobi, Hiburan, hingga Wisata Murah Meriah
“Saya senang lihat anak-anak main layangan, artinya mereka masih punya rasa ingin tahu terhadap hal-hal tradisional,” ujar Hendra.
Beberapa sekolah bahkan memasukkan kegiatan membuat layangan sebagai bagian dari pelajaran seni dan budaya, karena dapat melatih motorik halus, kreativitas, serta kerja sama tim.
6. Tantangan dan Keamanan di Lapangan
Meski menyenangkan, lomba layangan juga memiliki tantangan. Salah satunya adalah penggunaan benang gelasan yang bisa membahayakan pengguna jalan. Karena itu, panitia lomba di BKT selalu menekankan aspek keamanan dan disiplin.
Peserta wajib menggunakan benang biasa tanpa kaca dan dilarang bermain di sekitar jalur kendaraan. Polisi dan petugas Satpol PP juga turun tangan untuk memastikan acara berlangsung aman.
“Kami ingin lomba layangan tetap jadi kegiatan positif, bukan malah membahayakan orang lain,” tegas Hendra.
7. Harapan dan Masa Depan Komunitas Layangan
Asep dan komunitasnya berharap kegiatan seperti lomba layangan di Jakarta Timur dapat terus digelar secara rutin, bahkan mungkin diangkat ke level nasional. Mereka juga ingin adanya dukungan lebih besar dari pemerintah daerah untuk menyediakan ruang terbuka hijau khusus untuk kegiatan layangan.
“Kalau ada lahan tetap, kita bisa bikin festival layangan tahunan seperti di Bali. Itu bisa jadi daya tarik wisata baru di Jakarta,” pungkas Asep.
Kesimpulan: Lomba Layangan di Jakarta Timur Bukti Tradisi Tak Lekang Waktu
Lomba layangan bukan sekadar permainan masa lalu — melainkan warisan budaya yang terus beradaptasi dengan zaman. Dari Asep sang kolektor layangan asal Bandung, kita belajar bahwa kecintaan pada tradisi bisa menjadi jalan untuk melestarikan nilai-nilai bangsa, mempererat komunitas, hingga menumbuhkan ekonomi kreatif lokal.
Lomba layangan di Jakarta Timur bukan hanya tentang siapa yang menang di langit, tetapi tentang semangat kebersamaan di bumi.

 
			 
			