Proyek Energi Terbarukan kini menjadi simbol perubahan global menuju masa depan yang ramah lingkungan. Namun, di balik semangat mengurangi emisi karbon, muncul kenyataan pahit: meningkatnya gugatan hak asasi manusia (HAM) di sejumlah negara. Berdasarkan laporan terbaru Business & Human Rights Resource Centre (BHRRC), jumlah tuduhan pelanggaran HAM dalam proyek energi terbarukan meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.
Artikel ini akan membahas 10 fakta penting tentang Proyek Energi Terbarukan — mulai dari pertumbuhan cepatnya, dampak sosial, hingga solusi yang sedang diupayakan agar transisi energi berjalan adil dan berkelanjutan.
1. Proyek Energi Terbarukan Tumbuh Paling Cepat dalam Sejarah Modern
Dalam dua dekade terakhir, dunia menyaksikan ledakan proyek energi hijau. Menurut International Renewable Energy Agency (IRENA), kapasitas terpasang energi terbarukan global mencapai 3.500 gigawatt (GW) pada 2024 — naik 12% dari tahun sebelumnya. Energi surya mendominasi pertumbuhan ini, disusul oleh tenaga angin dan panas bumi.

Faktor pendorongnya mencakup penurunan biaya teknologi, kebijakan pemerintah, serta meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap krisis iklim. Namun, semakin cepat ekspansi proyek, semakin besar pula potensi benturan sosial di lapangan.
2. Negara-Negara Berkembang Jadi Pusat Investasi Energi Hijau
Banyak Proyek Energi Terbarukan kini berpusat di negara berkembang seperti Indonesia, Brasil, Meksiko, dan Kenya. Alasan utamanya: potensi sumber daya alam melimpah dan biaya tenaga kerja yang relatif rendah.
Indonesia, misalnya, menargetkan 23% bauran energi dari sumber terbarukan pada 2025. Pemerintah memberikan insentif bagi investor dalam proyek panas bumi, PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), dan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Namun, tidak semua proyek berjalan mulus. Beberapa justru menimbulkan sengketa dengan masyarakat lokal karena persoalan lahan.
3. Gugatan HAM dalam Proyek Energi Terbarukan Naik Dua Kali Lipat
Laporan BHRRC mencatat lebih dari 320 kasus pelanggaran HAM yang terkait dengan proyek energi hijau antara 2015–2024. Tuduhan meliputi penggusuran paksa, pelanggaran hak masyarakat adat, hingga kekerasan terhadap aktivis lingkungan.
Ironisnya, proyek yang digadang sebagai solusi iklim justru menimbulkan konflik baru. Kasus paling menonjol terjadi di Meksiko, Kenya, dan Filipina, di mana masyarakat lokal kehilangan tanah tanpa kompensasi adil.
4. Konflik Lahan Jadi Sumber Masalah Terbesar
Di balik kesuksesan Proyek Energi Terbarukan, banyak proyek dilakukan di wilayah yang sudah lama dihuni komunitas adat. Misalnya, pembangunan ladang angin Isthmus of Tehuantepec di Meksiko yang memicu perlawanan masyarakat Zapotec. Mereka menilai proyek tersebut dipaksakan tanpa konsultasi publik yang memadai.
Situasi serupa juga terjadi di Indonesia. Proyek panas bumi di Sumatra Barat dilaporkan menimbulkan ketegangan antara investor dan warga adat. Mereka menolak pengeboran yang dinilai mengancam mata pencaharian dan kawasan sakral.
5. Isu Ketenagakerjaan dan Ketimpangan Ekonomi Masih Menghantui
Walau sektor energi hijau sering diklaim menciptakan “lapangan kerja masa depan”, realitanya tidak semua pekerjaan tersebut layak dan aman. Beberapa pekerja mengeluhkan kontrak jangka pendek dan kondisi kerja berbahaya.
Dalam rantai pasok global, isu HAM juga muncul di sektor tambang bahan baku seperti kobalt, litium, dan nikel — bahan penting untuk baterai kendaraan listrik. Banyak penambang di Afrika dan Asia bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai.
6. Perusahaan Multinasional Mulai Terapkan Prinsip ESG dan HRDD
Seiring meningkatnya sorotan publik, sejumlah perusahaan besar mulai mengadopsi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) serta Human Rights Due Diligence (HRDD). Ørsted, misalnya, kini mewajibkan studi dampak sosial sebelum proyek dimulai.
Pendekatan ini menuntut perusahaan untuk tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memastikan hak masyarakat terlindungi. Namun, pelaksanaan di lapangan masih bervariasi antarnegara, tergantung regulasi dan pengawasan pemerintah.
7. Dukungan LSM dan Tekanan Publik Kian Kuat
Organisasi seperti Amnesty International, Oxfam, dan Friends of the Earth aktif menyoroti pelanggaran HAM dalam Proyek Energi Terbarukan. Mereka mendesak adanya transparansi, keterlibatan komunitas, dan mekanisme pengaduan independen.
Berkat tekanan publik ini, beberapa proyek besar bahkan dibatalkan atau direvisi ulang. Salah satu contohnya adalah proyek bendungan di Kolombia yang dihentikan setelah adanya protes warga lokal dan temuan pelanggaran HAM.
8. Negara dengan Kasus Gugatan HAM Tertinggi

Data BHRRC menunjukkan lima negara dengan laporan pelanggaran HAM tertinggi terkait proyek energi hijau adalah:
- 
Meksiko 
- 
Kolombia 
- 
Filipina 
- 
Kenya 
- 
India 
Filipina menempati posisi teratas dalam jumlah ancaman terhadap aktivis lingkungan. Di Kenya, proyek PLTA Lake Turkana Wind Power sempat ditunda karena sengketa tanah adat. Hal ini menandakan bahwa kebijakan energi hijau harus selalu disertai keadilan sosial.
9. Tantangan Regulasi dan Pengawasan di Negara Berkembang
Salah satu hambatan utama adalah lemahnya sistem hukum dan pengawasan proyek di banyak negara berkembang. Meski pemerintah gencar menarik investasi, mekanisme untuk memeriksa dampak sosial masih minim.
Baca juga : 7 Fakta Subsidi dan Kompensasi 2024: Purbaya Pastikan Lunas Dibayar ke BUMN
Para ahli menilai bahwa tanpa transparansi dan konsultasi publik, proyek besar berisiko menimbulkan “kolonialisme hijau” — kondisi di mana masyarakat lokal menanggung beban transisi energi, sementara keuntungan dinikmati oleh korporasi global.
10. Menuju Transisi Energi yang Adil dan Berkelanjutan
Istilah Just Energy Transition kini menjadi pedoman baru dalam kebijakan global. Konsep ini menekankan bahwa perubahan menuju energi bersih harus inklusif, adil, dan menghormati hak asasi manusia.
Indonesia telah menandatangani Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD 20 miliar, yang menargetkan pengurangan emisi dan perlindungan pekerja batu bara melalui program pelatihan ulang. Namun, implementasi kebijakan ini perlu dikawal agar tidak berhenti di atas kertas.
Kesimpulan: Energi Bersih Harus Sejalan dengan Etika Sosial
Pertumbuhan pesat Proyek Energi Terbarukan membawa harapan besar bagi dunia yang lebih hijau. Namun, tanpa keadilan sosial dan perlindungan HAM, transisi ini bisa berubah menjadi paradoks: menyelamatkan bumi tetapi menyakiti manusia.
Masa depan energi bersih sejati hanya akan terwujud jika teknologi, kebijakan, dan kemanusiaan berjalan beriringan. Transisi hijau bukan sekadar mengubah sumber daya energi — tapi juga harus mengubah cara kita memperlakukan sesama dan lingkungan.

 
			 
			